Bicara cinta tidak berarti pembicaraan ringan seputar ketertarikan atau bahkan birahi yang seringkali meningkahi geraknya. Tapi lebih dari itu
Perempuan berbibir merah apel itu mengenakan gaun sepanjang lutut yang ketika duduk mengekspos sedikit bagian bawah pahanya. Kakinya dibalut sandal wedges yang berkesan santai. Dipotongnya steak impor dari Australia itu dengan manner yang baik, lalu potongan kecilnya disuap ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, perempuan itu menyibakkan rambut ikalnya yang kentara sekali baru saja ia keritingkan sendiri di depan cermin besar di kamarnya.
Wajahnya sangat berseri, padahal jam sudah menunjukkan pukul 20.23 waktu Indonesia bagian barat. Sesekali matanya yang dipulas eyeliner dan maskara memandang lembut dan penuh semangat kepada seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya, yang juga sedang sibuk memotong dan mengunyah daging steak.
Pandangan mereka, kuperhatikan, tidak selalu bersirobok, tetapi aura cinta begitu kental di udara, seolah meja yang mereka tempati adalah gelanggang aksi para malaikat penebar panah asmara. Perempuan itu sudah tertusuk ribuan anak panah tak cuma di hati tetapi juga tubuh dan akalnya. Begitu terlihat dari caranya duduk, melipat kaki, berpakaian, berdandan, melihat, bicara, dan tertawa. Begitu terlihat nyata, begitu apa adanya, tidak dipaksa.
Saat Cinta Ada
Begitu cinta bicara, bahkan dalam diam pun kamu tahu keberadaannya adalah penjaga. Cintalah yang membuatmu memilih pakaian itu. Cintalah yang menyunggingkan senyum tertulusmu saat bersamanya. Cintalah yang mengaitkan saraf-saraf halus pada kulitmu untuk mencumbu saraf-saraf di kulit pasanganmu. Kamu tahu itu ada, bahkan saat kalian bermesraan dalam diam. Diam yang menenangkan. Diam yang saling mengetahui isi pikiran.
Cintalah jawabannya saat kamu tidak merasa sepi saat tidak bicara dengannya.
Cinta mudah ditebak karena kehadirannya tak terlukiskan dengan aksara. Cinta yang hakiki tumbuh saat tanpa diminta kamu memberi. Bukan memberi supaya cinta. Tetapi memberi karena cinta.
Dan itulah sebenar-benar alasan dan tujuan hidup ini.
Perempuan berbibir merah apel itu mengenakan gaun sepanjang lutut yang ketika duduk mengekspos sedikit bagian bawah pahanya. Kakinya dibalut sandal wedges yang berkesan santai. Dipotongnya steak impor dari Australia itu dengan manner yang baik, lalu potongan kecilnya disuap ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, perempuan itu menyibakkan rambut ikalnya yang kentara sekali baru saja ia keritingkan sendiri di depan cermin besar di kamarnya.
Wajahnya sangat berseri, padahal jam sudah menunjukkan pukul 20.23 waktu Indonesia bagian barat. Sesekali matanya yang dipulas eyeliner dan maskara memandang lembut dan penuh semangat kepada seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya, yang juga sedang sibuk memotong dan mengunyah daging steak.
Pandangan mereka, kuperhatikan, tidak selalu bersirobok, tetapi aura cinta begitu kental di udara, seolah meja yang mereka tempati adalah gelanggang aksi para malaikat penebar panah asmara. Perempuan itu sudah tertusuk ribuan anak panah tak cuma di hati tetapi juga tubuh dan akalnya. Begitu terlihat dari caranya duduk, melipat kaki, berpakaian, berdandan, melihat, bicara, dan tertawa. Begitu terlihat nyata, begitu apa adanya, tidak dipaksa.
Saat Cinta Ada
Begitu cinta bicara, bahkan dalam diam pun kamu tahu keberadaannya adalah penjaga. Cintalah yang membuatmu memilih pakaian itu. Cintalah yang menyunggingkan senyum tertulusmu saat bersamanya. Cintalah yang mengaitkan saraf-saraf halus pada kulitmu untuk mencumbu saraf-saraf di kulit pasanganmu. Kamu tahu itu ada, bahkan saat kalian bermesraan dalam diam. Diam yang menenangkan. Diam yang saling mengetahui isi pikiran.
Cintalah jawabannya saat kamu tidak merasa sepi saat tidak bicara dengannya.
Cinta mudah ditebak karena kehadirannya tak terlukiskan dengan aksara. Cinta yang hakiki tumbuh saat tanpa diminta kamu memberi. Bukan memberi supaya cinta. Tetapi memberi karena cinta.
Dan itulah sebenar-benar alasan dan tujuan hidup ini.
Komentar
Posting Komentar